Beberapa bulan lalu, saya mengajak Ibu keliling kota untuk mencari kain batik. Saat mau memasuki toko yang cukup mentereng disalah satu pojok kota itu, dari kejauhan tercium aroma kain yang sangat sedap yang mampu menenggelamkan imajinasi saya seolah anak kecil yang sangat candu bermain letupan bubblewrap. Tidak begitu ramai oleh pengunjung, namun sebagai gantinya, batik-batik yang terpampang cukup membuat riuh suasana.
Seketika saya teringat batik-batik koleksi lama saya yang sudah aus diterpa air cucian dan terik matahari ratusan kali, warna mereka mulai pudar, jahitan mulai koyak, beberapa sisi kain mulai tidak sinkron, dan menyisakan bekas-bekas corak yang masih berani bertahan meskipun tinggal menunggu waktu yang tidak lama lagi.
Hmm perlu harga berapa untuk saya jadikan batik ini bertahan ratusan kali? Pikir saya saat itu. Tibalah mbak-mbak penjaga toko menghampiri saya dan menyebutkan koleksi yang ada. “kalau yang ini harganya x ratus ribu mas, yang di dalam almari mulai dari satu juta, yang itu dua juta, sebelahnya tiga juta” sambil menunjuk menggunakan jempolnya khas unggah-ungguh orang Jawa.
Kalau diperhatikan, saya jarang punya batik baru. Beli kalau butuh. Lebih seringnya yang sifatnya segera, alias karena ada acara, kondangan terutama. Jadi mau tak mau sendiko dawuh dengan pencetus ide seragam bersama. Selebihnya saya jarang sekali beli karena “kepengen”. Baru kali ini saya kepengen banget dan akhirnya membeli beberapa kain batik untuk menggantikan posisi batik lawas saya yang statusnya akan segera berubah menjadi artefak.
Perubahan baju batik yang saya miliki baru saya sadari belakang ini, bahwa semua benda itu ada masanya. Sering tedengar memang, namun arah pikiran saya kali ini lebih dari sekedar itu. Ini tentang kemelekatan seseorang terhadap sesuatu.
Melekat sependek interaksi kepala saya adalah kondisi seseorang yang berubah menjadi sengsara jika keinginan, barang, benda, hingga perasaan yang dia miliki lepas dan hilang dari genggamannya.
Benda-benda “keramat” yang disimpan dengan baik ini pada hakikatnya hanya kebetulan lewat melalui sosok kita saja, selebihnya manusia tidak punya apa-apa. Batik yang saya kenakan misalnya. Itu juga saya engga mampu bilang kalau itu titipan-dari-Tuhan, saya rasa itu sekedar lewat via sosok saya saja, yang nantinya akan aus, rusak, memudar, dan perlahan hilang.
Contoh lain berupa uang. Kita bisa katakan bahwa uang yang kita dapat akhir bulan ini merupakan akumulasi kerja keras kita di bulan itu. Memang begitulah mekanisme logikanya bekerja, namun kenyataannya, deep-down kitalah yang dimampukan Tuhan untuk bekerja sedemikian rupa, hingga akhirnya dilewati uang yang masuk ke rekening, agar bisa melanjutkan kehidupan ke level berikutnya. Itupun juga sebab skenario Tuhan.
Begitu pula dengan peralatan yang dimiliki seperti, HP, laptop, make up, mobil, motor, rumah, umur, hingga hal-hal yang sifatnya ghoib seperti cinta, kangen, benci dan rindu, ups. Semua saling bergerak, memiliki masa, dan bagaimanapun juga akan berakhir. Namun, kita tidak tahu, kapan saatnya itu semua akan berakhir. Ini mengubah pandangan awal saya yang meyakini bahwa Dunia ini bisa dibaca polanya, perlahan keyakinan saya mulai goyah saat saya mulai berpikir dan merasa saking dinamisnya pergerakan jagat raya ini, pola Dunia mustahil untuk ditebak.
Terlalu letih untuk menginginkan semua hal di sekitar kita ini sesuai dengan kemauan kita. Seseorang pasti maunya seperti ini, seperti itu. Setelah berhasil mendapatkannya, muncul perasaan kurang, dan butuh yang lebih ini, lebih itu. Jika tidak mampu mendapat hal yang diinginkan, dia akan frustrasi, stress, menyalahkan keadaan, dan muncul penyesalan. Begitu saja terus sampai-sampai lupa kalau semua ini statusnya sekedar “kebetulan lewat” saja, dan akan berakhir nantinya.
Pengalaman terakhir saya setidaknya 3 tahun terakhir ini memaksa saya untuk menyadari bahwa saya harus merdeka dari kemelekatan. Tidak ingin disetir oleh duniawi yang lewat via saya saat ini. Harta benda, perasaan, keinginan, hasrat dan sebagainya. Itu yang masih jadi PR saya hingga tulisan ini keluar. Namun setidaknya, sekarang saya punya niat untuk menuju kesitu dengan menjadikannya tulisan refleksi, bertepatan dengan momen HUT ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia, merdeka pula saya dari Kemelekatan, harapannya sih begitu.
Disamping itu, Let it be, satu-satunya cara yang bisa manusia lakukan disaat semua hasrat dan keinginan tidak tercapai sebagaimana yang dia mau, disaat pola pergerakan Dunia dan seisinya tidak bisa ditebak. Let it be.
Selamat berbahagia dan merayakan kemerdekaan, MERDEKA DARI KEMELEKATAN!!!
17 Agustus 2023
M. Syaiful Afif